MAKNA KEBERKAHAN
Betapa sering kita mengucapkan, mendengar, mendambakan dan berdo’a untuk
mendapatkan keberkahan, baik dalam umur, keluarga, usaha, maupun dalam harta
benda dan lain-lain. Akan tetapi, pernahkah kita bertanya, apakah sebenarnya
yang dimaksud dengan keberkahan itu? Dan bagaimana untuk memperolehnya?
Apakah keberkahan itu hanya terwujud jamuan makanan yang kita bawa
pulang saat kenduri? Atau apakah keberkahan itu hanya milik para kiyai, tukang
ramal, atau para juru kunci kuburan, sehingga bila salah seorang memiliki suatu
hajatan, ia datang kepada mereka untuk “ngalap berkah”, agar cita-citanya
tercapai?
Bila kita pelajari dengan sebenarnya, baik melalui ilmu bahasa Arab
maupun melalui dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah, kita akan mendapatkan
bahwa kata al-barakah memiliki kandungan dan pemahaman yang sangat luas dan
agung. Secara ilmu bahasa, al-barakah, berarti berkembang, bertambah dan
kebahagian [1]. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata : “Asal makna keberkahan,
ialah kebaikan yang banyak dan abadi” [2]
DAHULU, SABA MERUPAKAN NEGERI PENUH BERKAH
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang negeri mereka.
بَلْدَةٌ
طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
“(Negerimu adalah) negeri yang baik dan (Rabbmu) adalah Rabb Yang
Maha Pengampun” [Saba/34 : 15]
Ayat diatas berbicara tentang negeri Saba’ sebelum mengalami
kehancuran lantaran kekufuran mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam
Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan kisah bangsa Saba’,
suatu negeri yang tatkala penduduknya beriman dan beramal shalih, maka mereka
dilingkupi dengan keberkahan. Sampai-sampai ulama ahli tafsir mengisahkan, kaum
wanita Saba’ tidak perlu bersusah-payah memanen buah-buahan di kebun mereka. Untuk
mengambil hasil buahnya, cukup menaruh keranjang di atas kepala, lalu melintas
di kebun, maka buah-buahan yang telah masak akan berjatuhan memenuhi
keranjangnya, tanpa harus memetik atau mendatangkan pekerja untuk memanennya.
Sebagian ulama lain juga menyebutkan, dahulu di negeri Saba’ tidak
ada lalat, nyamuk, kutu, atau serangga lainnya. Kondisi demikian itu lantaran
udaranya yang bagus, cuacanya bersih, dan berkat rahmat Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang senantiasa meliputi mereka. [3]
Kisah keberkahan yang menakjubkan pada zaman keemasan umat Islam
juga pernah diungkapkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah :”Sungguh,
biji-bijian dahulu, baik gandum maupun yang lainnya lebih besar dibanding
dengan yang ada sekarang, sebagaimana keberkahan yang ada padanya (biji-bijian
kala itu, pent) lebih banyak. Imam Ahmad rahimahullah telah meriwayatkan
melalui jalur sanadnya, bahwa telah ditemukan di gudang sebagian kekhilafahan
Bani Umawi sekantung gandum yang biji-bijinya sebesar biji kurma, dan
bertuliskan pada kantung luarnya :”Ini adalah gandum hasil panen pada masa
keadilan ditegakkan” [4]
Bila demikian, tentu masing-masing kita mendambakan untuk
mendapatkan keberkahan dalam pekerjaan, penghasilan dan harta. Sehingga kita
bertanya-tanya, bagaimanakah cara agar usaha, penghasilan dan harta saya
diberkahi Allah?
DUA SYARAT MERAIH KEBERKAHAN
Untuk memperoleh keberkahan dalam hidup secara umum dan dalam penghasilan
secara khusus, terdapat dua syarat yang mesti dipenuhi.
Pertama. Iman Kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Inilah syarat pertama dan terpenting agar rizki kita diberkahi Allah Subhanahu
wa Ta’ala, yaitu dengan merealisasikan keimanan kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَلَوْ
أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ
مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا
يَكْسِبُونَ
“Andaikata penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah
Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Tetapi,
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya” [Al-A’raf/7 : 96]
Demikian, balasan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya
yang beriman, dan sekaligus menjadi penjelas bahwa orang yang kufur kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya tidak akan pernah merasakan keberkahan dalam
hidup.
Di antara perwujudan iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
berkaitan dengan penghasilan, ialah senantiasa yakin dan menyadari bahwa rizki
apapun yang kita peroleh merupakan karunia dan kemurahan Allah Subhanahu wa
Ta’ala , bukan semata-mata jerih payah atau kepandaian kita. Yang demikian itu,
karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan kadar rizki setiap manusia
semenjak ia masih berada dalam kandungan ibunya.
Bila kita pikirkan diri dan negeri kita, niscaya kita bisa
membukukan buktinya. Setiap kali kita mendapatkan suatu keberkahan, maka kita
lupa daratan, dan merasa keberhasilan itu karena kehebatan kita. Dan
sebaliknya, setiap terjadi kegagalan atau bencana, maka kita menuduh alam
sebagai penyebabnya, dan melupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bila demikian, maka mana mungkin Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
memberkahi kehidupan kita? Bukankah pola pikir semacam ini yang telah
menyebabkan Qarun mendapatkan adzab dengan ditelan bumi? Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman.
قَالَ
إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَىٰ عِلْمٍ عِنْدِي ۚ أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ
قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً
وَأَكْثَرُ جَمْعًا
“Qarun berkata : “Sesunguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu
yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui bahwasanya Allah sungguh telah
membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak
harta kumpulannya ..” [Al-Qashah/28: 78]
Perwujudan bentuk yang lain dalam hal keimanan kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala berkaitan dengan rizki, yaitu kita senantiasa menyebut nama Allah
Subhanahu wa Ta’ala ketika hendak menggunakan salah satu kenikmatan-Nya,
misalnya ketika makan.
عن
عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أن النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان
يَأْكُلُ طَعَاماً في سِتَّةِ نَفَرٍ من أَصْحَابِهِ فَجَاءَ أعرابي فَأَكَلَهُ
بِلُقْمَتَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَمَا
إِنَّهُ لَوْ كَانَ ذَكَرَ اسْمَ اللَّهِ لَكَفَاكُمْ. رواه
أحمد والنَّسائي وابن حبان
“Dari Sahabat Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu saat sedang makan bersama enam orang
sahabatnya, tiba-tiba datang seorang Arab badui, lalu menyantap makanan beliau
dalam dua kali suapan (saja). Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: “Ketahuilah seandainya ia menyebut nama Allah (membaca Bismillah, pent),
niscaya makanan itu akan mencukupi kalian”. [HR Ahmad, An-Nasa-i dan Ibnu
Hibban]
Pada hadits lain, Nab Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ketahuilah bahwasanya salah seorang dari kamu bila hendak menggauli istrinya
ia berkata : “Dengan menyebut nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari setan
dan jauhkanlah setan dari anak yang Engkau karuniakan kepada kami”, kemudian
mereka berdua dikaruniai anak (hasil dari hubungan tersebut, pent) niscaya anak
itu tidak akan diganggu setan” [HR Al-Bukhari]
Demikian, sekilas penjelasan peranan iman kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, yang terwujud pada menyebut nama-Nya ketika hendak menggunakan suatu
kenikmatan, sehingga mendatangkan keberkahan pada harta dan anak keturunan.
Kedua : Amal Shalih
Yang dimaksud dengan amal shalih, ialah menjalankan perintah dan menjauhi
larangan-Nya sesuai dengan syari’at yang diajarkan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Inilah hakikat ketakwaan yang menjadi syarat datangnya
keberkahan sebagaimana ditegaskan pada surat Al-A’raf ayat 96 diatas.
Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang Ahlul Kitab
yang hidup pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman.
وَلَوْ
أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ
رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ
“Dan sekiranya mereka benar-benar menjalankan Taurat, Injil dan
(Al-Qur’an) yang diturunkan kepada mereka, niscaya mereka akan mendapatkan
makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka” [Al-Ma’idah : 66]
Para ulama tafsir menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan
“mendapatkan makanan dari atas dan dari bawah kaki”, ialah Allah Subhanahu wa
Ta’ala akan meielimpahkan kepada mereka rizki yang sangat banyak dari langit
dan dari bumi, sehingga mereka akan mendapatkan kecukupan dan berbagai
kebaikan, tanpa susah payah, letih, lesu, dan tanpa adanya tantangan atau
berbagai hal yang mengganggu ketentraman hidup mereka [5]
Di antara contoh nyata keberkahan harta orang yang beramal shalih,
ialah kisah Khidir dan Nabi Musa bersama dua orang anak kecil. Pada kisah
tersebut, Khidir menegakkan tembok pagar yang hendak roboh guna menjaga agar
harta warisan yang dimiliki dua orang anak kecil dan terpendam di bawah pagar
tersebut , sehingga tidak nampak dan tidak bisa diambil oleh orang lain.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirmn.
وَأَمَّا
الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ
كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا
أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua anak yatim di kota
itu, dan dibawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya
adalah seorang yang shalih, maka Rabbmu menghendaki agar mereka sampai kepada
kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu”
[Al-Kahfi/18 : 82]
Menurut penjelasan para ulama tafsir, ayah yang dinyatakan dalam
ayat ini sebagai ayah yang shalih itu bukan ayah kandung dari kedua anak
tersebut. Akan tetapi, orang tua itu ialah kakeknya yang ketujuh, yang semasa
hidupnya berprofesi sebagai tukang tenun.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Pada kisah ini terdapat dalil
bahwa anak keturunan orang shalih akan dijaga, dan keberkahan amal shalihnya
akan meliputi mereka di dunia dan di akhirat. Ia akan memberi syafa’at kepada mereka,
dan derajatnya akan diangkat ke tingkatan tertinggi, agar orang tua mereka
menjadi senang, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an dan Sunnah’ [6]
Sebaliknya, bila seseorang enggan beramal shalih, atau bahkan malah
berbuat kemaksiatan, maka yang ia petik juga kebalikan dari apa yang telah
disebutkan di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
(إن الرَّجُلَ
لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ) رواه
أحمد وابن ماجة والحاكم وغيرهم
“Sesungguhnya seseorang dapat saja tercegah dari rizkinya akibat
dari dosa yang ia kerjakan” [HR Ahmad, Ibnu Majah, Al-Hakim dll]
Membusuknya daging dan basinya makanan, sebenarnya menjadi salah
satu dampak buruk yang harus ditanggung manusia. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menyebutkan bahwa itu semua terjadi akibat perbuatan dosa umat
manusia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
لَوْلَا
بَنُو إِسْرَائِيلَ لَمْ يَخْبُثْ الطَّعَامُ وَلَمْ يَخْنَزْ اللَّحْمُ (متفق
عليه)
“Seandainya kalau bukan karena ulah Bani Israil, niscaya makanan
tidak akan pernah basi dan daging tidak akan pernah membusuk” [Muttafaqun
‘alaih]
Para ulama menjelaskan, tatkala Bani Israil diberi rizki oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala berupa burung-burung salwa (semacam burung puyuh) yang
datang dan dapat mereka tangkap dengan mudah setiap pagi hari, mereka dilarang
untuk menyimpan daging-dading burung tersebut. Setiap pagi hari, mereka hanya
dibenarkan untuk mengambil daging yang akan mereka makan pada hari tersebut.
Akan tetapi, mereka melanggar perintah ini, dan mengambil daging dalam jumlah
yang melebihi kebutuhan mereka pada hari tersebut, untuk disimpan. Akibat
perbuatan mereka ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukum mereka, sehingga
daging-daging yang mereka simpan tersebut menjadi busuk. [7]
Demikian, penjelasan dua syarat penting guna meraih keberkahan.
_______
Footnote
[1]. Al-Misbahul-Munir, 1/45. Al-Qamus Al-Muhith, 2/1236. Lisanul Arab 10/395
[2]. Syarhu Shahih Muslim, oleh An-Nawawi 1/225
[3]. Tafsir Ibnu Katsir, 3/531
[4]. Lihat Zadul Ma’ad, 4/363 dan Musnad Ahmad 2/296
[5]. Tafsir Ibnu Katsir, 2/76
[6]. Tafsir Ibnu Katsir, 3/99
[7]. Ma’alimut Tanzil, 1/97. Syarhu Shahih Muslim 10/59 Fathul Bari 6/411